Kamis, 07 Oktober 2010

Pemanasan global, dampak dan usaha yang bisa dilakukan

       Pemanasan global (global warming) pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan suhu global dari tahun ke tahun karena efek rumah kaca yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrit dioksida (N2O) dan CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Jika konsentrasi karbon-dioksida meningkat dua kali lipat, maka temperatur bisa meningkat sampai 1 ° C. Namun realitas peningkatan suhu bisa lebih dari 1 ° C karena faktor-faktor seperti: perubahan jumlah awan, perubahan kadar air di udara dan perubahan permukaan Bumi karena pembukaan lahan oleh manusia atau bencana alam. Kenaikan temperatur global - termasuk Indonesia – bahkan terjadi dalam kisaran 1,5-40 Celcius pada akhir abad ke-21.
Sumber terutama peningkatan konsentrasi karbon-dioksida adalah penggunaan bahan bakar fosil, ditambah pengaruh perubahan permukaan tanah (pembukaan lahan, deforestasi, kebakaran hutan, mencairnya lapisan es)

       Dampak pemanasan global sangat luas dan serius bagi lingkungan bio-geofisik (seperti pelelehan es di kutub, kenaikan permukaan air laut, perluasan gurun pasir, peningkatan curah hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama dan penyakit, dll). Sedangkan dampak terhadap kegiatan sosial-ekonomi masyarakat meliputi: (a) gangguan fungsi kawasan pesisir dan kota pantai, (b) gangguan terhadap fungsi prasarana dan sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan dan bandara (c) gangguan terhadap kawasan perumahan, (d) pengurangan produktivitas lahan pertanian, (e) peningkatan risiko kanker dan penyakit, dll).

       Kenaikan permukaan laut secara umum akan menghasilkan dampak sebagai berikut: (a) meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, (b) perubahan arus laut dan kehancuran luas mangrove, (c) perluasan intrusi air laut, (d) ancaman terhadapkegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, dan (e) pengurangan luas lahan atau hilangnya pulau-pulau kecil.

       Peningkatan frekuensi dan intensitas banjir disebabkan oleh pola acak dari curah hujan dan musim hujan yang pendek sementara curah hujan sangat tinggi (kejadian ekstrim). Frekuensi dan intensitas banjir diprediksikan terjadi 9 kali lebih besar pada dekade mendatang dimana 80% peningkatan banjir terjadi di Asia Selatan dan Tenggara (termasuk Indonesia) dengan luas genangan banjir mencapai 2 juta mil persegi. Meningkatnya volume air di kawasan pesisir akan memberikan efek akumulatif ketika permukaan laut naik dan peningkatan frekuensi dan intensitas hujan terjadi pada periode yang sama.
Kenaikan permukaan air laut menyebabkan perubahan arus laut di daerah pesisir juga menyebabkan kerusakan pada ekosistem mangrove, yang saat ini hanya kondisinya sangat mengkhawatirkan. Hutan bakau yang luas di Indonesia terus menurun dari 5.209.543 ha (1982) menurun menjadi 3.235.700 ha (1987) dan menurun lagi untuk 2.496.185 ha (1993). Dalam jangka waktu 10 tahun (1982-1993), telah terjadi penurunan hutan mangrove ± 50% dari total luas yang asli. Jika keberadaan mangrove tidak bisa dipertahankan, maka: abrasi pantai akan sering terjadi karena tidak ada tarik gelombang, pencemaran dari sungai ke laut akan meningkat karena tidak ada filter polutan, dan zona akan terancam akuakultur sendiri.

       Penyebaran intrusi air laut selain disebabkan oleh terjadinya kenaikan permukaan air laut juga dipicu oleh terjadinya eksploitasi tanah dan air tanah yang berlebihan. Sebagai contoh, diperkirakan pada periode antara 2050 sampai 2070, maka intrusi air laut akan mencakup 50% dari total luas Jakarta Utara.
Gangguan terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang terjadi antara lain: gangguan terhadap jaringan jalan dan lalu lintas kereta api di Pantura, Jawa Timur dan Sumatera Selatan, kolam permukiman di kota-kota pesisir yang terletak di daerah Pantura Jawa , Sumatera, timur, Kalimantan selatan, selatan barat Sulawesi, dan beberapa spot pesisir di Papua; hilangnya lahan budidaya seperti sawah, kolam ikan air payau, dan area mangrove 3,4 juta hektar, setara dengan US $ 11.307.000; gambar ini menjadi lebih 'buram' apabila dikaitkan dengan keberadaan sentra produksi makanan hanya berkisar dari hanya 4% dari luas total nasional, dan penurunan produktivitas lahan di pusat-pusat makanan, seperti sungai Citarum, Brantas , dan Saddang yang sangat krusial bagi kelangsungan swasembada pangan di Indonesia.

       Risiko berkurangnya lahan di daerah pesisir dan bahkan hilangnya pulau-pulau kecil bisa mencapai 2000-4000 jumlah pulau, tergantung pada kenaikan permukaan air laut yang terjadi.Dengan asumsi kemunduran garis pantai sejauh 25 meter, pada akhir abad 2100 kehilangan lahan pada daerah pesisir diprkirakan mencapai 202.500 ha.

       Bagi Indonesia, dampak kenaikan permukaan air laut dan banjir lebih diperparah dengan pengurangan hutan tropis yang signifikan. Pada periode tahun 1997 ke 1998 tidak kurang dari 1,7 juta hektar hutan terbakar di Sumatra dan Kalimantan, karena pengaruh El Nino. Bahkan WWF (2000) menyebutkan angka yang lebih besar, antara 2-3.500.000 hektar pada periode yang sama. Jika tidak mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki kerusakan hutan - khususnya fungsi lindung - akan menyebabkan run-off yang lebih besar di kawasan hulu, meningkatkan resiko banjir dan daerah hilir, dan memperluas kelangkaan air dalam jangka panjang.
Oleh karena itu aspek kenaikan permukaan air laut dan banjir harus menjadi salah satu masukan yang signifikan bagi kebijakan dan strategi pembangunan nasional, regional terkandung di dalam Rancangan Tata Ruang dan Wilayah Nasional (RTRWN) khususnya bagi pengembangan kawasan pesisir mengingat jumlah konsentrasi penduduk yang mendiami wilayah pesisir, khususnya di kota-kota pesisir, jumlah potensi ekonomi wilayah pesisir yang dimiliki, penggunaan wilayah pesisir yang belum mencerminkan sinergi antara kepentingan ekonomi lingkungan, tingginya konflik pemanfaatan ruang lintas sektor dan lintas wilayah, dan belum terciptanya keterkaitan fungsional antara kawasan hulu dan hilir, yang cenderung merugikan kawasan pesisir.

       Berdasarkan studi yang dilakukan oleh ADB (1994), dampak kenaikan permukaan air laut dan banjir diperkirakan akan memberikan gangguan yang serius untuk daerah seperti: Pantura Jawa, Sumatera, timur, Kalimantan selatan, selatan barat Sulawesi, dan beberapa tempat di pantai Barat Papua.
Untuk kawasan budidaya, maka perhatian yang lebih besar harus diberikan untuk kota-kota pesisir yang memiliki peran strategis bagi kawasan pesisir, yaitu daerah pusat pertumbuhan yang menyediakan ekonomi, sosial, dan tata kelola untuk daerah.Pesisir kota diharapkan mengalami ancaman kenaikan permukaan air laut meliputi Lhokseumawe, Belawan, Bagansiapi-api, Batam, Kalianda, Jakarta, Tegal, Semarang, Surabaya, Singkawang, Ketapang, Makassar, Pare-Pare, Sinjai.
Disamping itu beberapa daerah memiliki kerentanan terhadap dampak kenaikan permukaan air laut dan banjir, seperti: beberapa ruas jalan Lintas Timur Sumatera (dari Lhokseumawe ke Bandar Lampung sepanjang ± 1600 km) dan sebagian jalan Lintas Pantura Jawa (dari Jakarta ke Surabaya sepanjang ± 900 km) dan sebagian besar Sulawesi Tengah Cross (dari Pare-pare, Makassar hingga Bulukumba sepanjang ± 250 km). pelabuhan strategis nasional, seperti Belawan (Medan), Tanjung Priok (Jakarta), Tanjung Mas (Semarang), Pontianak, Tanjung Perak (Surabaya), dan pelabuhan Makassar, jaringan irigasi di daerah pusat makanan seperti Pantura Jawa, Sumatera dan bagian-bagian timur Sulawesi Selatan; Beberapa Bandara strategis seperti Medan, Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makassar, dan Semarang.

       Untuk mengurangi dampak dari peningkatan permukaan laut akibat pemanasan global, pada kawasan pesisir bisa dilakukan pembangunan drag gelombang (breakwater), tanggul banjir (seawalls) dan juga penanaman mangrove atau penimbunan vegetasi pasir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar